TULISAN 1
1. KONSEP SEHAT
Istilah sehat dalam kehidupan sehari-hari sering dipakai untuk
menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara normal. Kebanyakan orang
mengatakan sehat jika badannya merasa segar dan nyaman. Bahkan seorang dokterpun akan
menyatakan pasiennya sehat manakala menurut hasil pemeriksaan yang dilakukannya
mendapatkan seluruh tubuh pasien berfungsi secara normal. Namun demikian,
pengertian sehat yang sebenarnya tidaklah demikian. Pengertian sehat menurut UU Pokok
Kesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang meliputi
kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan hanya
keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Pengertian
sehat tersebut sejalan dengan pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975
sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis
penyakit, baik fisik, mental, dan sosial.
Batasan kesehatan
tersebut di atas sekarang telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang
terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik, mental, dan
sosial, maka dalamUndang- Undang N0. 23 Tahun 1992, kesehatan mencakup 4
aspek, yakni: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Batasan
kesehatan tersebut diilhami oleh batasan kesehatan menurut WHO yang paling
baru. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan
dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari
aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya
dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi.
Bagi yang
belum memasuki dunia kerja, anak dan remaja,
atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau usia lanjut, berlaku arti
produktif secara sosial. Misalnya produktif secara sosial-ekonomi bagi siswa sekolah atau mahasiswa adalah mencapai prestasi yang baik,
sedang produktif secara sosial-ekonomi bagi usia lanjut atau para pensiunan
adalah mempunyai kegiatan sosial dan keagamaan yang bermanfat, bukan saja bagi
dirinya, tetapi juga bagi orang lain atau masyarakat.
Keempat
dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam
mewujudkan tingkat kesehatanseseorang,
kelompok atau masyarakat.
Itulah
sebabnya, maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek.
Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara
lain sebagai berikut:
1. Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa
dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak
tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni
pikiran, emosional, dan spiritual.
• Pikiran
sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
• Emosional
sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya,
misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
• Spiritual
sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian,
kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan
Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat
dilihat dari praktik keagamaan seseorang.
Dengan perkataan
lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan
semua aturan-aturan agama yang dianutnya.
3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu
berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan
ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial,ekonomi, politik, dan
sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa)
produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat
menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi
mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan),
dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok
tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan
yang berguna bagikehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi
bagi siswa atau mahasiswa,
dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia
lanjut. Dari Buku Sekolah
2. SEJARAH PERKEMBANGAN KESEHATAN MENTAL
Zaman Prasejarah
Manusia purba sering mengalami gangguan mental atau fisik, seperti
infeksi, artritis, dll.
Zaman peradaban awal
- Phytagoras (orang yang pertama
memberi penjelasan alamiah terhadap penyakit mental)
- Hypocrates (Ia berpendapat
penyakit / gangguan otak adalah penyebab penyakit mental)
- Plato (gangguan mental sebagian
gangguan moral, gangguan fisik dan sebagiaan lagi dari dewa dewa)
Zaman Renaissesus
Pada zaman ini di beberapa negara Eropa, para tokoh keagamaan,
ilmu kedokteran dan filsafat mulai menyangkal anggapan bahwa pasien sakit
mental tenggelam dalam dunia tahayul.
Era Pra Ilmiah
1. Kepercayaan
Animisme
Sejak zaman dulu gangguan mental telah muncul dalam konsep
primitif, yaitu kepercayaan terhadap faham animisme bahwa dunia ini diawasi
atau dikuasai oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang Yunani kuno percaya bahwa
orang mengalami gangguan mental, karena dewa marah kepadanya dan membawa pergi
jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta
(sesaji) dengan mantra dan kurban.
2. Kepercayaan
Naturalisme
Suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental dan fisik itu
akibat dari alam. Hipocrates (460-367) menolak pengaruh roh, dewa, setan atau
hantu sebagai penyebab sakit. Dia mengatakan, Jika anda memotong batok kepala,
maka anda akan menemukan otak yang basah, dan mencium bau amis. Tapi anda tidak
akan melihat roh, dewa, atau hantu yang melukai badan anda.
Seorang dokter Perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan
filsafat polotik dan sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental.
Dia terpilih menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini,
pasiennya dirantai, diikat ketembok dan tempat tidur. Para pasien yang telah di
rantai selama 20 tahun atau lebih, dan mereka dianggap sangat berbahaya dibawa
jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Akhirnya, diantara mereka banyak yang
berhasil, mereka tidak lagi menunjukkan kecenderungan untuk melukai atau
merusak dirinya.
Era Modern
Perubahan luar biasa dalam sikap dan cara pengobatan gangguan
mental terjadi pada saat berkembangnya psikologi abnormal dan psikiatri di
Amerika pada tahun 1783. Ketika itu Benyamin Rush (1745-1813) menjadi anggota
staf medis di rumah sakit Pensylvania. Di rumah sakit ini ada 24 pasien yang
dianggap sebagai lunatics (orang gila atau sakit ingatan).
Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyebab dan cara
menyembuhkan penyakit tersebut. Akibatnya pasien-pasien dikurung dalam ruang
tertutup, dan mereka sekali-kali diguyur dengan air.
Rush melakukan suatu usaha yang sangat berguna untuk memahami
orang-orang yang menderita gangguan mental tersebut melalui penulisan
artikel-artikel. Secara berkesinambungan, Rush mengadakan pengobatan kepada
pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan
mencari kesenangan.
Pada tahun 1909, gerakan mental Hygiene secara
formal mulai muncul. Perkembangan gerakan mental hygiene ini tidak lepas dari
jasa Clifford Whitting Beers (1876-1943) bahkan karena jasanya itu ia
dinobatkan sebagai The Founder of the Mental Hygiene Movement.
Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang pencegahan dan
pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat manusiawi.
Secara hukum, gerakan mental hygiene ini mendapat
pengakuan pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika presiden Amerika Serikat
menandatangani The National Mental Health Act., yang berisi program
jangka panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesehatan mental seluruh warga
masyarakat.
Bebarap tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebut meliputi
- Meningkatkan kesehatan mental
seluruh warga masyarakat Amerika Serikat, melalui penelitian, investigasi,
eksperimen, penayangan kasus-kasus, diagnosis, dan pengobatan.
- Membantu lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan
koordinasi antara para peneliti dalam melakukan kegiatan dan
mengaplikasikan hasil-hasil penelitiannya.
- Memberikan latihan terhadap
para personel tentang kesehatan mental.
- Mengembangkan dan membantu
negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan terhadap para pengidap gangguan mental.
Pada tahun 1950, organisasi mental hygiene terus
bertambah, yaitu dengan berdirinya National Association for Mental
Health. Gerakan mental hygiene ini terus berkembang sehingga pada tahun
1975 di Amerika terdapat lebih dari seribu perkumpulan kesehatan mental. Di
belahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui The World
Federation forMental Health dan The World Health Organization.
3. PENDEKATAN KESEHATAN MENTAL
Orientasi Klasik
Orientasi
klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan
sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat
adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya.
Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak
ada keluhan mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak
menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas.
Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang
kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental
dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi.
Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat
atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh
kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental.
Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak
sehat mental.
Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan
menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat
dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya
dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak
dapat menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya
semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu
dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan
tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam
masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang
absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain
yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan
perilaku yang diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku
yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan
agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya
tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan
bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada
waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah
mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan
tidak sehat mental sekaligus.
Dengan
contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal
yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita
tidak dapat begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’
pada seseorang. Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas
terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat
yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya
seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita
berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat
mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia
adalah makhluk tidak sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri,
kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara
keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya
berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang
dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan
untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh
orang lain dan dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata
yang menjadi pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang
bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan
kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak
selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya,
pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara
pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan
wajar.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah
mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau
menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan
dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya
tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa
kesehatan mental hanya
sekedar
usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu
tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis,
kecuali jika kita masukkan dalam pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang
menyentuh aspek individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan
kemampuan sosial.
Syamsu Yusuf. 2009. Mental Hygiene. Bandung : Maestro
http://idb4.wikispaces.com/file/view/uf4018.2.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar