Kasus
1
Fenomena
Monyet Jakarta
Monyet kini menjadi masalah serius
bagi Jakarta. Gubernur Jokowi memerintahkan
aparat Satuan Polisi Pamong Praja untuk merazia. Pemilik diberi
ganti-rugi Rp1 juta/ekor.
Jakarta
Animal Aid Network atau satu organisasi pencita binatang
yang menginginkan agar Jokowi melakukannya.Di kota kita ada sekitar 350 ekor
hewan spesies macaca fascicularis tersebutdiperlakukan semena-mena sebagai
tontonan. Atraksi paling mencolok berlangsung di sejumlah jalan raya.
Masyarakat budaya Jawa menyebutnya
ledhek kethek. Warga Jakarta menjuluki,
topeng monyet dengan pemeran utama dinamai Sarimin.
Catatan sejarah mengungkapkan,
akrobat yang digelar pengamennya berlangsung sejak tahun 1890-an. Selain
disukai anak-anak pribumi juga mampu menghibur bocah keluarga Belanda yang
bermukim di kota kita.
Hiburan rakyat satu ini, diharuskan
pemprov sudah dapat diakhiri pada tahun 2014. Alasan gubernur melarang karena
adegan pertunjukan selain menyiksa monyet juga menjadi sumber penyebaran
penyakit rabies.
Kita tidak mempersoalkan argumen
gubernur, meski perlakuan serupa pada kuda, kerbau, gajah dan hewan lainnya
tetap dibiarkan terjadi. Fokus perhatian yang kita kemukakan adalah perlu ada
pengganti sumber nafkah bagi orang yang bersangkutan.
Di balik fenomena topeng monyet,
menyeruak kemiskinan yang amat sangat melilit. Pengamen beratraksi di tepian
jalan rata-rata berusia muda. Mereka butuh arena dan peluang untuk mewujudkan
mimpi hidup layak.
Dinas Sosial tidak dapat membina
lebih jauh karena saudara-saudara kita itu pada umumnya adalah penduduk dari
luar Jakarta. Gubernur juga tidak bisa berjalan sendiri atau dibiarkan
pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan yang sejatinya rumit.
Kriminalitas di Jakarta tidak kenal
waktu. Pencopetan, pencurian, perampokan semakin merajalela. Banyak rumah
penduduk disantroni begundal. Penghuni dianiaya. Ada pula yang dibunuh hanya
sekadar bisa mengambil barang yang diincar.
Antara pengamen topeng monyet yang
menjamur, kemiskinan dan minim peluang kerja punya kedekatan hubungan
sebab-akibat terhadap gangguan keamanan. Penanganan jangan hanya sebatas
memuaskan kalangan pencita hewan, tapi wajib membedah akar permasalahannya.
Harapan kita, untuk melindungi warga kota dari dampak buruk
yang ditimbulkan, saat ini butuh langkah pencegahan. Gubernur agar segera
memeritahkan lurah menggerakkan seluruh pengurus RT/RW untuk meningkatkan
sistem keamanan lingkungan berkoordinasi dengan aparat kepolisian setempat.
Tindakan preventif ini sangat urgen
untuk diperkuat pemerintah pusat agar larangan topeng monyet tidak menimbulkan
permasalahan baru di Ibukota Jakarta. ***
Refrensi :
Kasus 2
Organisasi
Pencinta Binatang Boikot Kopi Luwak
Organisasi khusus yang mengutamakan
perlakuan etis terhadap kesejahteraan binatang, People for The Ethical Treatments of Animals (PETA) Asia, telah
mengedarkan video investigasi rahasia yang menampilkan satwa luwak yang stress
sebelum diambil sari kopinya.
Dalam video itu tampak luwak
mondar-mandir, berputar-putar, menggigit tiang-tiang kurungan, dan
menggelengkan atau menganggukkan kepala mereka. Semua ini adalah indikasi bahwa
satwa liar yang ditangkap ini menjadi gila secara psikis akibat dari kebosanan
dan depresi.
Jason Baker, Wakil Presiden Operasi
Internasional PETA Asia, menuturkan setelah kampanye itu lebih dari 50.000
konsumen dari berbagai negara yang telah melakukan tanda perjanjian dengan PETA
untuk tidak membeli produk keji ini.
"Beberapa jaringan hotel besar
dan para penjual terbesar juga telah berhenti menmperjualkan kopi luwak,
termasuk Grand Hyatt di Singapura; InterContinental, Hotel Langham, dan
Mandarin Oriental di Hong Kong; dan cabang department store ikonik Harrods di
U.K," kata Baker dalam keteranganya di Jakarta, Rabu (30/10/2013)
Ia menambahkan membeli suatu produk
yang berasal dari hasil penyiksaan binatang justru menunjukkan bentuk dukungan
terhadap penyiksaan tersebut.
"Itulah sebabnya banyak
konsumen dan perusahaan besar di seluruh dunia menolak segala hal yang
berkaitan dengan kopi luwak," tambahnya.
Di alam liar, luwak sering memanjat
pohon untuk meraih dan memakan buah kopi matang, tetapi didalam kandang, mereka
diberi makan buah kopi dalam jumlah lebih banyak dari yang biasanya mereka
konsumsi secara alamiah.
Barker mendapatkan pengakuan dari
seorang peternak bahwa luwak-luwak pada umumnya tetap dikurung selama maksimal
tiga tahun sebelum dilepaskan kembali ke alam habitatnya dan stres yang berasal
dari pengukungan, serta kurangnya nutrisi yang diperlukan satwa mengakibatkan
timbulnya kerontokan bulu.
"Peternak lain pun
memberitahukan pada investigator bahwa beberapa luwak bahkan ada yang tidak
bisa bertahan hidup setelah mereka dilepaskan kembali ke alam habitat,"
tambahnya.
Refrensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar