Rabu, 30 Oktober 2013

Tulisan 2 Psikologi manajemen

Kasus 1
Fenomena Monyet Jakarta

Monyet kini menjadi masalah serius bagi Jakarta. Gubernur Jokowi memerintahkan  aparat Satuan Polisi Pamong Praja untuk merazia. Pemilik diberi ganti-rugi Rp1 juta/ekor.

Jakarta Animal Aid Network atau satu organisasi pencita binatang yang menginginkan agar Jokowi melakukannya.Di kota kita ada sekitar 350 ekor hewan spesies macaca fascicularis tersebutdiperlakukan semena-mena sebagai tontonan. Atraksi paling mencolok berlangsung di sejumlah jalan raya.

Masyarakat budaya Jawa menyebutnya ledhek kethek. Warga Jakarta  menjuluki, topeng monyet dengan pemeran utama dinamai Sarimin.

Catatan sejarah mengungkapkan, akrobat yang digelar pengamennya berlangsung sejak tahun 1890-an. Selain disukai anak-anak pribumi juga mampu menghibur bocah keluarga Belanda yang bermukim di kota kita.

Hiburan rakyat satu ini, diharuskan pemprov sudah dapat diakhiri pada tahun 2014. Alasan gubernur melarang karena adegan pertunjukan selain menyiksa monyet juga menjadi sumber penyebaran penyakit rabies.

Kita tidak mempersoalkan argumen gubernur, meski perlakuan serupa pada kuda, kerbau, gajah dan hewan lainnya tetap dibiarkan terjadi. Fokus perhatian yang kita kemukakan adalah perlu ada pengganti sumber nafkah bagi orang yang bersangkutan.

Di balik fenomena topeng monyet, menyeruak kemiskinan yang amat sangat melilit. Pengamen beratraksi di tepian jalan rata-rata berusia muda. Mereka butuh arena dan peluang untuk mewujudkan mimpi hidup layak.

Dinas Sosial tidak dapat membina lebih jauh karena saudara-saudara kita itu pada umumnya adalah penduduk dari luar Jakarta. Gubernur juga tidak bisa berjalan sendiri atau dibiarkan pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan yang sejatinya rumit.

Kriminalitas di Jakarta tidak kenal waktu. Pencopetan, pencurian, perampokan semakin merajalela. Banyak rumah penduduk disantroni begundal. Penghuni dianiaya. Ada pula yang dibunuh hanya sekadar bisa mengambil barang yang diincar.

Antara pengamen topeng monyet yang menjamur, kemiskinan dan minim peluang kerja punya kedekatan hubungan sebab-akibat terhadap gangguan keamanan. Penanganan jangan hanya sebatas memuaskan kalangan pencita hewan, tapi wajib membedah akar permasalahannya.

Harapan kita,  untuk melindungi warga kota dari dampak buruk yang ditimbulkan, saat ini butuh langkah pencegahan. Gubernur agar segera memeritahkan lurah menggerakkan seluruh pengurus RT/RW untuk meningkatkan sistem keamanan lingkungan berkoordinasi dengan aparat kepolisian setempat.

Tindakan preventif ini sangat urgen untuk diperkuat pemerintah pusat agar larangan topeng monyet tidak menimbulkan permasalahan baru di Ibukota Jakarta. ***

Refrensi :


  

Kasus 2
Organisasi Pencinta Binatang Boikot Kopi Luwak

Organisasi khusus yang mengutamakan perlakuan etis terhadap kesejahteraan binatang, People for The Ethical Treatments of Animals (PETA) Asia, telah mengedarkan video investigasi rahasia yang menampilkan satwa luwak yang stress sebelum diambil sari kopinya.

Dalam video itu tampak luwak mondar-mandir, berputar-putar, menggigit tiang-tiang kurungan, dan menggelengkan atau menganggukkan kepala mereka. Semua ini adalah indikasi bahwa satwa liar yang ditangkap ini menjadi gila secara psikis akibat dari kebosanan dan depresi.

Jason Baker, Wakil Presiden Operasi Internasional PETA Asia, menuturkan setelah kampanye itu lebih dari 50.000 konsumen dari berbagai negara yang telah melakukan tanda perjanjian dengan PETA untuk tidak membeli produk keji ini.

"Beberapa jaringan hotel besar dan para penjual terbesar juga telah berhenti menmperjualkan kopi luwak, termasuk Grand Hyatt di Singapura; InterContinental, Hotel Langham, dan Mandarin Oriental di Hong Kong; dan cabang department store ikonik Harrods di U.K," kata Baker dalam keteranganya di Jakarta, Rabu (30/10/2013)

Ia menambahkan membeli suatu produk yang berasal dari hasil penyiksaan binatang justru menunjukkan bentuk dukungan terhadap penyiksaan tersebut.

"Itulah sebabnya banyak konsumen dan perusahaan besar di seluruh dunia menolak segala hal yang berkaitan dengan kopi luwak," tambahnya.

Di alam liar, luwak sering memanjat pohon untuk meraih dan memakan buah kopi matang, tetapi didalam kandang, mereka diberi makan buah kopi dalam jumlah lebih banyak dari yang biasanya mereka konsumsi secara alamiah.

Barker mendapatkan pengakuan dari seorang peternak bahwa luwak-luwak pada umumnya tetap dikurung selama maksimal tiga tahun sebelum dilepaskan kembali ke alam habitatnya dan stres yang berasal dari pengukungan, serta kurangnya nutrisi yang diperlukan satwa mengakibatkan timbulnya kerontokan bulu.

"Peternak lain pun memberitahukan pada investigator bahwa beberapa luwak bahkan ada yang tidak bisa bertahan hidup setelah mereka dilepaskan kembali ke alam habitat," tambahnya.

Refrensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar